Lowongan Kerja TKI
Lowongan Kerja TKI
Seyogianya kata “pahlawan” diberikan kepada seseorang berjasa dan memberikan kontribusi penting pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun orang senantiasa lupa, apabila gelar “pahlawan” ini semestinya ditujukan kepada mereka yang sudah mendahului kita semua. Mengapa demikian? Jika diberikan kepada seseorang masih hidup, kata tersebut akan mengalami gejala peyoratif dan hilang kesakralannya, yang mungkin diakibatkan perilaku yang berubah menuju sesuatu bertendensi negatif dari si penyandang gelar. Namun bagi mereka sudah tiada, perubahan perilaku tersebut sudah tidak dimungkinkan lagi.
Seorang pahlawan tentunya memberikan kontribusi berupa perlindungan kepada sesuatu hal penting. Dalam konteks TKI, penulis tidak bermaksud menafikan kontribusi besar TKI di luar negeri dalam bentuk devisa kepada perekonomian nasional. Namun perspektif di benak penulis, para TKI ini justru memerlukan berbagai spektrum perlindungan dari negara. Mengapa demikian? Karena umumnya para TKI ini terekspos pada situasi dan kondisi tempat bekerja berkategori 3D (Difficult, Dirty and Dangerous= sulit, kotor dan berbahaya). Belum lagi mereka pun rentan terekspos dari berbagai hal mencakup pelecehan, pemerasan, penzaliman dan berbagai potensi kejahatan lainnya. Tidaklah heran jika para TKI kemudian banyak berhadapan dengan berbagai masalah hukum atau bahkan pulang ke rumah hanya meninggalkan nama saja.
Penulis berspekulasi menilai bahwa gelar “pahlawan devisa” yang ditujukan kepada para TKI di luar negeri ini, bermula dari ketidakadaan perlindungan mumpuni untuk mereka ini. Oleh karena itu, untuk menutupi kelemahan-kelemahan dari esensi perlindungan TKI ini, kemudian dimunculkanlah gelar “penghormatan” ini.
Secara kontekstual, para TKI ini berangkat ke luar negeri untuk memperbaiki basis kehidupan ekonomi mereka dan keluarganya. Keluarga TKI pun akan senantiasa berharap bahwa upaya keberangkatan TKI membuahkan hasil sesuai harapan. Penulis meyakini tidak dalam benak mereka semua berharap kemudian berhadapan dengan berbagai masalah pelik. Kesuksesan dari usaha para TKI inilah diharapkan segenap keluarga mereka, dan juga kita semua.
Berbagai masalah kian marak dihadapi para TKI di luar negeri secara natural pun menghilangkan tujuan perbaikan basis kehidupan ekonomi mereka. Dengan masalah-masalah yang dihadapi jelas tidak memperbaiki kualitas kehidupan para TKI secara manusiawi.
Adalah tugas pemerintah sebagai penyelenggara negara menyediakan suatu mekanisme perlindungan mumpuni bagi para TKI ini. Hal ini jelas merupakan amanat konstitusi … “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia …”
Sebagai negara berdaulat, ancaman bagi seorang warga negara Indonesia adalah ancaman bagi seluruh Bangsa Indonesia. Perlu diingat, maraknya keberangkatan TKI nonprosedural diakibatkan juga dari sistem penempatan secara prosedural kian memakan biaya tinggi dan rentan berbagai pungutan liar. Cerita sama selalu berulang dalam masalah ini. Keberangkatan TKI nonprosedural didorong motif memperbaiki kehidupan ekonomi dengan biaya lebih ringan. Seyogianya pemerintah menyadari bahwa meningkatnya jumlah TKI nonprosedural ini dikarenakan ketidakpercayaan dengan sistem penempatan TKI / TKW yang diselenggarakan secara prosedural.
Jika memang tidak mampu memberikan mekanisme perlindunag TKI di luar negeri secara mumpuni, pemerintah harus segera mereposisi kebijakan yang ada, dan berkonsentrasi menciptakan banyak lapangan pekerjaan domestik.
Sebagai analogi, China dengan jumlah penduduk jauh lebih besar dari Indonesia, tidak pernah dalam sejarahnya mempunyai program pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Namun yang diciptakan China, adalah memperbanyak basis industri guna menyerap tenaga kerja secara intensif. China kemudian banyak mengirim tenaga kerja ke luar negeri untuk mendukung ekspansi ekonomi China di luar negeri. Sehingga tenaga kerja China di luar negeri tetap secara martabat terproteksi dan bekerja di lingkup secara mudah pemerintah melakukan intervensi dalam bentuk perlindungan.
Seyogianya kata “pahlawan” diberikan kepada seseorang berjasa dan memberikan kontribusi penting pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun orang senantiasa lupa, apabila gelar “pahlawan” ini semestinya ditujukan kepada mereka yang sudah mendahului kita semua. Mengapa demikian? Jika diberikan kepada seseorang masih hidup, kata tersebut akan mengalami gejala peyoratif dan hilang kesakralannya, yang mungkin diakibatkan perilaku yang berubah menuju sesuatu bertendensi negatif dari si penyandang gelar. Namun bagi mereka sudah tiada, perubahan perilaku tersebut sudah tidak dimungkinkan lagi.
Seorang pahlawan tentunya memberikan kontribusi berupa perlindungan kepada sesuatu hal penting. Dalam konteks TKI, penulis tidak bermaksud menafikan kontribusi besar TKI di luar negeri dalam bentuk devisa kepada perekonomian nasional. Namun perspektif di benak penulis, para TKI ini justru memerlukan berbagai spektrum perlindungan dari negara. Mengapa demikian? Karena umumnya para TKI ini terekspos pada situasi dan kondisi tempat bekerja berkategori 3D (Difficult, Dirty and Dangerous= sulit, kotor dan berbahaya). Belum lagi mereka pun rentan terekspos dari berbagai hal mencakup pelecehan, pemerasan, penzaliman dan berbagai potensi kejahatan lainnya. Tidaklah heran jika para TKI kemudian banyak berhadapan dengan berbagai masalah hukum atau bahkan pulang ke rumah hanya meninggalkan nama saja.
Penulis berspekulasi menilai bahwa gelar “pahlawan devisa” yang ditujukan kepada para TKI di luar negeri ini, bermula dari ketidakadaan perlindungan mumpuni untuk mereka ini. Oleh karena itu, untuk menutupi kelemahan-kelemahan dari esensi perlindungan TKI ini, kemudian dimunculkanlah gelar “penghormatan” ini.
Secara kontekstual, para TKI ini berangkat ke luar negeri untuk memperbaiki basis kehidupan ekonomi mereka dan keluarganya. Keluarga TKI pun akan senantiasa berharap bahwa upaya keberangkatan TKI membuahkan hasil sesuai harapan. Penulis meyakini tidak dalam benak mereka semua berharap kemudian berhadapan dengan berbagai masalah pelik. Kesuksesan dari usaha para TKI inilah diharapkan segenap keluarga mereka, dan juga kita semua.
Berbagai masalah kian marak dihadapi para TKI di luar negeri secara natural pun menghilangkan tujuan perbaikan basis kehidupan ekonomi mereka. Dengan masalah-masalah yang dihadapi jelas tidak memperbaiki kualitas kehidupan para TKI secara manusiawi.
Adalah tugas pemerintah sebagai penyelenggara negara menyediakan suatu mekanisme perlindungan mumpuni bagi para TKI ini. Hal ini jelas merupakan amanat konstitusi … “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia …”
Sebagai negara berdaulat, ancaman bagi seorang warga negara Indonesia adalah ancaman bagi seluruh Bangsa Indonesia. Perlu diingat, maraknya keberangkatan TKI nonprosedural diakibatkan juga dari sistem penempatan secara prosedural kian memakan biaya tinggi dan rentan berbagai pungutan liar. Cerita sama selalu berulang dalam masalah ini. Keberangkatan TKI nonprosedural didorong motif memperbaiki kehidupan ekonomi dengan biaya lebih ringan. Seyogianya pemerintah menyadari bahwa meningkatnya jumlah TKI nonprosedural ini dikarenakan ketidakpercayaan dengan sistem penempatan TKI / TKW yang diselenggarakan secara prosedural.
Jika memang tidak mampu memberikan mekanisme perlindunag TKI di luar negeri secara mumpuni, pemerintah harus segera mereposisi kebijakan yang ada, dan berkonsentrasi menciptakan banyak lapangan pekerjaan domestik.
Sebagai analogi, China dengan jumlah penduduk jauh lebih besar dari Indonesia, tidak pernah dalam sejarahnya mempunyai program pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Namun yang diciptakan China, adalah memperbanyak basis industri guna menyerap tenaga kerja secara intensif. China kemudian banyak mengirim tenaga kerja ke luar negeri untuk mendukung ekspansi ekonomi China di luar negeri. Sehingga tenaga kerja China di luar negeri tetap secara martabat terproteksi dan bekerja di lingkup secara mudah pemerintah melakukan intervensi dalam bentuk perlindungan.
Terlepas dari data tersebut diatas Deputi Perlindungan BNP2TKI Lisna Y Poelongan mengungkapkan jasa
pengiriman uang alias remitansi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) menyumbang
10% nilai APBN. Ini berarti benar bila dikatakan TKI adalah 'Pejuang
Devisa Negara'.
"Jumlahnya benar 10 persen dari nilai APBN, menempati posisi kedua setelah pendapatan dari sektor migas," katanya saat ditemui detikFinance di Gedung Bank Indonesia, Rabu (26/9/2012).
Lisna menegaskan, pemerintah sangat berterima kasih dengan keberadaan TKI yang berjumlah sekitar empat juta orang dan tersebar di lebih dari 161 negara didunia.
"Mereka membantu pemerintah dalam mengatasi berbagai keluhan di negara ini. Roda perekonomian daerah pun bergerak dari remitansi itu pemda juga harus berterimakasih pada TKI," katanya.
Data dari BNP2TKI menunjukkan perolehan devisa dari remitansi TKI yang bekerja di berbagai negara di kawasan Asia, Amerika, Timur Tengah, Afrika, Eropa, dan Australia pada 2012 sampai dengan Juli 2012 mencapai US$ 3,9 miliar.
Jumlah remitansi TKI yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan BNP2TKI per Juli 2012 merinci untuk kawasan Saudi Arabia remitansi yang dikirim TKI sebesar US$ 1,1 miliar dan Malaysia US$ 1,3 miliar. Selebihnya disumbang oleh TKI di Amerika, Australia dan negara-negara lain di Kawasan Asia Pasifik.
"Hingga akhir tahun 2012 saya yakin bisa menembus US$ 6,8 miliar," tutupnya.
Dengan demikian secara keseluruhan perolehan devisa dari remitansi TKI pada pada 2012 sampai dengan Juli mencapai Rp 37 triliun (1 US$ = Rp 9.500).
Lisna menegaskan, pemerintah sangat berterima kasih dengan keberadaan TKI yang berjumlah sekitar empat juta orang dan tersebar di lebih dari 161 negara didunia.
"Mereka membantu pemerintah dalam mengatasi berbagai keluhan di negara ini. Roda perekonomian daerah pun bergerak dari remitansi itu pemda juga harus berterimakasih pada TKI," katanya.
Data dari BNP2TKI menunjukkan perolehan devisa dari remitansi TKI yang bekerja di berbagai negara di kawasan Asia, Amerika, Timur Tengah, Afrika, Eropa, dan Australia pada 2012 sampai dengan Juli 2012 mencapai US$ 3,9 miliar.
Jumlah remitansi TKI yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan BNP2TKI per Juli 2012 merinci untuk kawasan Saudi Arabia remitansi yang dikirim TKI sebesar US$ 1,1 miliar dan Malaysia US$ 1,3 miliar. Selebihnya disumbang oleh TKI di Amerika, Australia dan negara-negara lain di Kawasan Asia Pasifik.
"Hingga akhir tahun 2012 saya yakin bisa menembus US$ 6,8 miliar," tutupnya.
Dengan demikian secara keseluruhan perolehan devisa dari remitansi TKI pada pada 2012 sampai dengan Juli mencapai Rp 37 triliun (1 US$ = Rp 9.500).